Sabtu, 08 Januari 2011

UU Narkotika

UU Narkotika

Undang-Undang Narkotika



Undang-Undang Narkotika
Dunia Kesehatan, terutama kefarmasian terus diramaikan dengan peraturan. Semoga saja semua produk manusia itu, dapat memberikan berkah bagi kita sebagai Tenaga Teknis Kefarmasian. Silahkan Unduh Undang-Undang Narkotik 35/ 2009

Sejarah



  • Ordonantie Regie (1872). Pada masa peraturan ini berlaku, setiap wilayah mempunyai ordonantie regie sendiri-sendiri, diantaranya: Bali Regie Ordonantie; Jawa Regie Ordonantie; Riau Regie Ordonantie; Aceh Regie Ordonantie; Borneo Regie Ordonantie; Celebes Regie Ordonantie; Tapanuli Regie Ordonantie; dll.
  • Verdovende Midellen Ordonantie (Stbl 1927 Nomor 278 jo Nomor 536). Pembentukan peraturan ini disesuaikan berdasar asas konkordansi, dengan tujuan unifikasi hukum menyatukan seluruh peraturan dibidang narkotika yang ada sebelumnya.
  • Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika. Perubahan yang terjadi dalam peraturan ini adalah dalam hal pengaturan yang lebih luas cakupannya, lebih lengkap serta lebih berat ancaman pidananya.
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika. Yang melatarbelakangi diundangkannya peraturan ini adalah untuk meningkatkan pengendalian dan pengawasan sebagai upaya mencegah dan memberantas penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika.
  • Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Alasan yang perlu diperhatikan dalam peraturan ini adalah bahwa tindak pidana Narkotika telah bersifat transnasional yang dilakukan dengan menggunakan modus operandi yang tinggi, teknologi canggih, didukung oleh jaringan organisasi yang luas, dan sudah banyak menimbulkan korban, terutama dikalangan generasi muda bangsa yang sangat membahayakan kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara.


Periculum In Mora (PIM)


  • Industri farmasi, pedagang besar farmasi, sarana penyimpanan sediaan farmasi pemerintah, apotek, rumah sakit, pusat kesehatan masyarakat, balai pengobatan, dokter, dan lembaga ilmu pengetahuan wajib menyimpan Narkotika secara khusus; serta wajib membuat, menyampaikan, dan menyimpan laporan berkala mengenai pemasukan dan/ atau pengeluaran Narkotika yang berada dalam penguasaannya.
  • Dokter dengan alasan menjalankan praktik dokter dengan memberikan Narkotika melalui suntikan, menolong orang sakit dalam keadaan darurat dengan memberikan Narkotika melalui suntikan; atau menjalankan tugas di daerah terpencil yang tidak ada apotek, hanya dapat memperole Narkotika tersebut melalui Apotek.
  • Untuk pertama kali diatur mengenai Prekursor Narkotika, yaitu pengaturan mengenai zat atau bahan pemula atau bahan kimia yang dapat digunakan dalam pembuatan Narkotika yang dibedakan dalam tabel lampiran UU 35/ 2009.
  • Dalam rangka pencegahan dan pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika, dibentuk Badan Narkotika Nasional (BNN) yang berkedudukan dibawah Presiden dan bertanggung jawab kepada Presiden serta berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan. Dimana dapat melakukan penyadapan yang terkait setelah ada bukti awal yang cukup dan melakukan teknik penyidikan pembelian terselubung dan penyerahan dibawah pengawasan.
  • Pemerintah memberikan penghargaan kepada penegak hukum dan masyarakat yang telah berjasa dalam upaya pencegahan, pemberantasan penyalahgunaan dan peredaran gelap Narkotika dan Prekusor Narkotika.


Sanksi



  • Pelanggaran terhadap ketentuan penyimpanan dan/ atau ketentuan pelaporan dikenai sanksi administrative oleh menteri atas rekomendasi dari Kepala B.POM berupa: teguran; peringatan; denda administrative; penghentian sementara kegiatan; atau pencabutan izin.
  • Dipidana dengan pidana penjaea paling singkat 1 tahun dan paling lama 10 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp100.000.000,00 dan paling banyak Rp1.000.000.000,00, bagi:
  •  
    • Pimpinan rumah sakit, puskemas, balai pengobatan, sarana penyimpanan sediaan farmasi milik pemerintah, dan apotek yang mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan;
    • Pimpinan lembaga ilmu pengetahuan yang menanam, membeli, menyimpan, atau menguasai tanaman Narkotika bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan;
    • Pimpinan Industri Farmasi tertentu yang memproduksi Narkotika Golongan I bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan; atau
    • Pimpinan pedagang besar farmasi yang mengedarkan Narkotika Golongan I yang bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan atau mengedarkan Narkotika Golongan II dan III bukan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/ atau bukan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan.
  • Setiap orang yang menghalang-halangi atau mempersulit penyidikan serta penuntutan dan pemeriksaan perkara tindak pidana Narkotika dan/ atau tindak pidana Prekursor Narkotika dimuka sidang pengadilan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 tahun dan pidana denda paling banyak Rp500.000.000,00.
  • Setiap orang yang dengan sengaja tidak melaporkan adanya tindak pidana narkotika, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak Rp50.000.000,00.
  • Dalam hal tindak pidana Narkotika dilakukan oleh korporasi, selain pidana penjara dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana denda dan dapat dijatuhi pidana tambahan berupa pencabutan izin usaha dan/ atau status badan hukum.

Peraturan lain yang kontroversial ialah UU Kesehatan 36/ 2009, bagi yang paham atau kritis terhadap peraturan ini pasti menemukan keterkait dengan kefarmasian. Tapi tidak ada yang bisa menyaingi suara protes Asisten Apoteker dalam PP Pekerjaan Kefarmasian 51/ 2009, kan

Jumat, 07 Januari 2011

UU Kesehatan 36/2009

UU Kesehatan 36/2009

Apa yang Baru dari UU Kesehatan No. 36 Th. 2009 ?


UU Kesehatan


Download dulu ya UU Kesehatan 36-2009.

Banyak hal-hal baru dari Undang-undang Kesehatan yang di undangkan tanggal 13 Oktober kemarin ini. Karena itu saya tidak perlu membahas pengaturan yang berada diluar dari bidang farmasi, karena bila anda googling tentu anda akan mendapatkan persoalan lain seperti masalah gigi, aborsi, rokok, dan lain-lain.

Yang pertama ialah banyak pengertian baru dan istilah baru, hal ini tentunya penting bagi kalangan akademisi untuk melakukan penyesuaian tentang hal ini. Namun bagi kalangan praktisi hal ini juga penting, karena dalam prakteknya tentu kita akan berhubungan dengan dokumen-dokumen tertulis yang harus sesuai dengan apa yang diatur dalam UU kesehatan ini. Pengertian dan istilah baru tersebut yang paling berkaitan dengan profesi Tenaga Teknis Kefarmasian ialah istilah obat dan obat tradisional.

Yang kedua, kecuali hak setiap orang untuk menentukan pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya. Bila dikaitkan dengan kefarmasian, maka hak ini bisa dijadikan dasar bagi pasien untuk menentukan perolehan obat terutama mengenai harga. Selama ini pasti banyak yang meributkan apa dasarnya kita memberikan obat bermerk yang berlainan dengan apa yang diresepkan dokter, tanpa harus menunggu atau meminta persetujuan dokter ataupun tidak terdapatnya obat generic, maka hak ini dapat menjadi pertimbangan. Tentunya apabila hal ini tidak bertentangan dengan peraturan perundanhan yang masih diberlakukan UU Kesehatan ini.

Ketiga, setiap tenaga kesehatan memiliki kualifikasi minimum. Yah, bisa ditebak bahwa amanat undang-undang ini untuk membentuk peraturan menteri akan berkaitan dengan uji kompetensi. Karena itu bersyukurlah bahwa PAFI telah memiliki standar prosedur uji kompetensi, yang nantinya tinggal disesuaikan dengan peraturan menteri tersebut.

Keempat. Saya pernah menceritakan dialog antara saya dengan seorang dokter yang menjadikan dasar profesinya dapat melakukan pekerjaan kefarmasian dengan salah satu pasal dalam UU Kesehatan 23/1992. Nah, dengan diaturnya kewenangan penyelenggaraan pelayanan kesehatan hanya dapat dilakukan sesuai bidang keahlian, menjadikan dasar untuk profesi lain tidak dapat ikut campur dalam hal kefarmasian. Atau anda pernah mendengar tenaga non AA, yaitu tenaga bukan profesi AA tetapi dipekerjakan melakukan pekerjaan AA, dengan UU ini tenaga non AA mutlak dilarang. Tentu dengan perkecualian tertentu, seperti tak adanya tenaga kefarmasian di suatu daerah.

Kelima. Sedikit terlihat mengenai wewenang organisasi profesi. Yaitu PAFI sebagai organisasi profesi diberi kewenangan untuk menetapkan kode etik dan standar profesi. Bagi yang mengikuti munas tentu telah menerima keputusan penetapan kode etik Asisten Apoteker.

Keenam. Untuk menjaga mutu kualitas bukan kuantitas, UU Kesehatan ini mengatur tentang pengadaan tenaga kesehatan. Hal ini patut kita jalankan sebaik-baiknya, karena banyak daerah yang mendirikan pendidikan AA tanpa memperhitungkan bagaimana kedepannya alumni-alumninya. Dampaknya di beberapa daerah yang menumpuk tenaga AA, memberikan upah/gaji yang tidak setimpal dengan profesi kita. Bahkan tentang upah inipun ikut diatur dalam UU ini.

Sebenarnya masih ada pengaturan yang bisa dikaitkan dalam hal kefarmasian, namun peraturan ini adalah Undang-undang yang nantinya akan diatur lebih terinci dalam peraturan perundangan pelaksananya. Jadi mari kita awasi terus, peraturan perundangan tersebut. Seperti UU Narkotika  35/ 2009 yang diundangkan sebelum peraturan ini, dan yang terpenting ialah PP Pekerjaan Kefarmasian 51/ 2009.

Kamis, 06 Januari 2011

Sekolahku Sayang, TTK-nya Malang..

Sekolahku Sayang, TTK-nya Malang..

Sekolahku Sayang, TTK-nya Malang..

Siapasih yang ngga bangga dengan almamaternya! Kebanyakan rekan-rekan dengan bangga menulis di FB, pendidikan dari sekolah farmasi tertentu. Tapi sekian banyak kita yang beruntung ini, adakah yang merasa malu atau minimal tidak tahu bahwa sekolah yang kita sayangi itu telah memberikan kemalangan bagi setiap AA/ TTK yang diluluskannya? Kemalangan apa? Ada apa dengan sekolahku?


Ide tentang tulisan ini sudah lama saya dapat, karena seperti di daerah saya ,didaerah rekan-rekan tentu telah banyak berdiri sekolah, akademi ataupun fakultas yang pada intinya bertujuan untuk mendidik para calon Tenaga Teknis Kefarmasian. Namun saya tunda menulisnya untuk lebih mencari tahu kebenarannya. Tapi tampaknya sudah ada yang mulai gregetan (sherina mode on) dan mulai mempertanyakannya. Lagipula saya baru mendapat teguran nih untuk kembali berkarya. Sebelum saya tulis lebih lanjut, mungkin komentar tiga orang teman kita berikut dapat menjadi gambaran mengenai permasalahan yang saya bahas disini. Gambar pertama ialah pertanyaan di FB PAFI Samarinda, menanyakan apakah memenuhi standar kurikulum depkes. Sedangkan gambar yang kedua ialah dari forum diskusi FB PAFI Kebumen, mendiskusikan tentang bagaimana seharusnya pendidikan seorang Asisten Apoteker (AA) atau Tenaga Teknis Kefarmasian (TTK).




Dari pernyataan rekan-rekan tersebut diatas, tampaklah kalau pendidikan AA/ TTK sekarang menimbulkan keragu-raguan. Keraguan rekan-rekan sekalian memanglah sangat beralasan, karena kita dapat melihat hasil didikan sekolah tertentu ketika ada yang magang ataupun pegawai baru ditempat kita bekerja. Ada yang memberikan feedback positif dan sebaliknya. Namun pada umumnya penilaian ini tidak ditujukan secara murni kepada AA/ TTK bersangkutan, melainkan kepada sekolah yang mendidik mereka. Apalagi bila kita telah sekian kali bersama dengan beberapa lulusan dari sekolah yang sama.


Kok bisa gitu ya, bukannya seharusnya sekolah yang mendidik AA/ TTK itu memberikan semua materi & praktikum yang sama? Seharusnya sih begitu. Trus kenapa sekolah-sekolah yang bandel tidak ditindak? Tentunya pertanyaan selanjutnya, siapakah yang seharusnya menindak?


Untuk pertanyaan pertama, mengapa berbeda-beda? Ya, seperti halnya tingkat akreditasi yang bertingkat tingkat. Maka wajar ada perbedaan antara satu sekolah AA/ TTK dan linnya. Tapi tentu ada batasan minimalnya sebuah sekolah  mendidik AA/ TTK agar kelak  bisa melakukan pekerjaan kefarmasian dengan baik.


Pertanyaan mengapa dan siapa yang seharusnya menindak adalah saling berkaitan. Siapa yang berhak menindak ialah Departemen Pendidikan dan Pusat Pendidikan Tenaga Kesehatan (PUSDIKNAKES). Dinas pendidikan mempunyai wewenang melalui, DIKTI untuk pendidikan tinggi dan Direktoran Pembinaan SMK apabila setingkat SMA. Sedangkan PUSDIKNAKES ialah sebagai lembaga yang berperan dalam menjaga mutu pendidikan tenaga kesehatan yang ada, terutama mutu lulusannya, sesuai dengan salah satu fungsi  yaitu merencanakan kebijakan dan penyiapan bahan perumusan kebijakan kendali mutu diknakes.


Sekarang kita sudah tahu, siapa yang berwenang untuk menindak lanjuti segala permasalahan d seklah yang mendidik AA/ TTK. Namun apakah lembaga-lembaga itu bisa mengontrol semua sekolah, yang bisa dibilang “datang tak dijemput, pulang tak diantar”? Tentu tidak bukan. Terus solusinya bagaimana? Ya, seperti yang sering saya bilang. Mulailah dari anda sendiri. Apa yang bisa kita lakukan? Nah, sekarang kan jaman sudah modern. Komunikasi sudah mudah. Salah satunya dengan media internet ini. Bagaimana caranya? Perhatikan sekitar kita, apakah menemukan sekolah AA/ TTK yang tidak jelas atau anda ragukan statusnya. Setelah anda temukan, surfing ke http://www.dikti.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=632&Itemid=257 untuk pendidikan tinggi, atau ke http://www.ditpsmk.net rel="nofollow" bila smk farmasi (lihat bagian data pokok smk). Jangan lupa cek juga statusnya di http://www.pusdiknakes.or.id/?show=data/penyebaran . Ingat harus sebagai sekolah terdaftar di salah satu dari DIKTI atau DITPSMK, dan harus terdaftar sebagai pendidik tenaga kesehatan di PUSDIKNAKES. Bila tidak terdaftar sebagai sekolah di Departemen pendidikan dan PUSDIKNAKES! Segera laporkan melalui emai/ buku tamu di website masing-masing.


Demikian tulisan saya, semoga bisa menjadikan kita sebagi orang yang bisa berbuat sesuatu untuk Negara yang kita cintai ini, khususnya demi keprofesionalismean AA/ TTK. Dengan begitu kita tidak hanya bisa mencemoh ketika mendengar atau melihat keburukan didepan mata kita. Keep Dreaming With Action..


NB: Tidak lupa bagi rekan-rekan yang ingin memberikan kritik, saran ataupun pertanyaan, silahkan gunakan media komunikasi yang ada. Bisa lewat FB (tulis diding saya, kirim pesan, kirim diforum, dlll), kirim lewat email (sekretariat{at}farmasi-samarinda.co.cc), ataupun kirim di komentar artikel ini.

Rabu, 05 Januari 2011

Kasian Pengurus PAFI

Kasian Pengurus PAFI

Kasian Deh lho! Pengurus PAFI



Kok kasian? Ya iyalah, karena sebagai pengurus PAFI, mereka selalu dituntut untuk menuntaskan tugas pokok dan fungsi Persatuan Ahli Farmasi Indonesia, sedangkan kompensasi yang mereka terima tidak ada, melainkan bersifat kekaryaan dan pengabdian kepada organisasi profesi. Hal ini didasarkan pada Pasal 3 Anggaran Dasar PAFI, yaitu Persatuan Ahli Farmasi Indonesia adalah organisasi profesi yang bersifat kekaryaan dan pengabdian. Sedangkan tugas pokoknya berdasarkan Pasal 5 adalah untuk meningkatkan pelayanan farmasi dan mengembangkan farmasi di Indonesia,  dan dengan fungsi yang sesuai pasal 6 AD PAFI yaitu:


  • Menggalang persatuan dan kesatuan segenap tenaga yang bakti karyanya dibidang farmasi guna pembangunan Farmasi Indonesia.
  • Mempertinggi keahlian dan solidaritas para anggota serta memperjuangkan hak dan kewajiban anggotanya.
  • Berusaha memenuhi kebutuhan masyarakat untuk hidup sejahtera dan sehat dengan memajukan usaha-usaha produksi, distribusi dan riset farmasi termasuk obat-obat asli Indonesia.
  • Bekerjasama dengan semua Organisasi di dalam dan di luar negeri yang sejalan dengan tujuan PAFI dalam upaya mewujudkan tujuan dan tugas pokok organisasinya.
  1.  
Dari uraian diatas tersebut, terlihat kesenjangan yang besar diantara tanggung jawab dan timbal balik dari seorang pengurus PAFI. Tapi bagaimanapun juga beratnya tanggung jawab yang diembat seorang pengurus, ia haruslah melaksanakannya dengan sepenuh hati sebagaimana sumpah/ janji yang telah diucapkannya pada saat dilantik dahulu. Seorang ketua Pengurus PAFI dipilih secara demokratis melalui musyarawah organisasi. Sampai disini tentu telah terjadi diantara semua anggota, presepsi yang berbeda-beda tentang ketua baru tersebut. Ada yang pro, ada yang kontra. Ada yang pesimis, dan ada yang optimis kepada ketua Persatuan Ahli Farmasi Indonesia yang baru ini.


Namun, apakah masalah hanya terjadi pada pro atau tidaknya anggota kepada ketua. Setelah terpilih menjadi ketua, ia pun memiliki kewenangan untuk memilih pengurus untuk setiap seksi dari bidang-bidang sesuai dengan visi dan misinya. Terpilihlah kepengurusan PAFI itu secara lengkap. Biasanya seorang ketua terpilih akan menunjuk pengurus dari orang-orang yang dikenalnya. Tidak hanya dalam pelayanan informasi saja, tetapi dalam hal lainnya. Rekan-rekan semua tau bagaimana kondisi sifat kekeluargaan antar para anggota. Pada dasarnya hanyalah berstatus teman sekantor, kenalan, adik tingkat, dan lain-lain. Jangankan satu kota, Tenaga Teknis Kefarmasian di Apotek sebelah saja kita banyak yang tidak tahu. Sifat kekeluargaan, saling memiliki dalam organisasi dan keterikatan emosional dalam kefarmasian, sekarang ini boleh dibilang hanya dilidah semata. Berbeda dengan dahulu, rasa kekeluargaan sangat terasa diantara kita. Bukan masalah jumlah Asisten Apoteker dulu yang masih sedikit ya, tetapi memang jiwa sosial para pendahulu kita jauh lebih tinggi dibandingkan generasi sekarang. Dengan keadaan seperti ini, tentu membuat seorang ketua terpilih “SULIT” untuk bekerjasama dengan para pengurus yang telah dipilihnya.


Ada satu contoh bentuk kerenggangan diantara kita semua. Contoh ini saya ambil dari “dinding” FB PAFI, berikut petikannya:



Apa yang rekan-rekan bisa simpulkan dari percakapan itu? Tentu terlihat ketidaksepahaman pikiran diantara kita, yang merupakan salah satu hambatan farmasi dari pafi. Kita bahas dulu komentar yang isinya “…., tolong yang dikepengurusan itu proaktif jangan bikin arisan ibu2 aja bikin kaum muda malas”. Jujur sebagai pengurus Persatuan Ahli Farmasi Indonesia, saya sama sakit hatinya dengan mba Anie. Kenapa? Karena sebagaimana saya ceritakan sebelumnya, semangat kebersamaan kita masih kurang. Saya yakin, banyak pengurus cabang ataupun daerah diseluruh Indonesia, mengalami problem yang sama, yaitu masalah kehadiran pengurus. Kalau pengurus aja minta diurus, gimana ngurusin anggotanya ya! Mungkin ada yang nanya, kenapa tidak ganti aja pengurus yang malas? Ya, tidak semudah membalikan telapak tangan. Pilihan seorang ketua kepada para pengurus yang ditunjuknya, memuat suatu konsekuensi hingga akhir masa jabatannya. Karena itulah rekan-rekan, salah satu metode yang biasanya kami gunakan di kepengurusan PAFI ialah dengan membuat suatu ikatan yang dapat terlihat secara fisik, melalui metode arisan. Alhamdulillah, selama ini metode ini cukup berhasil untuk memperbanyak daftar pengurus yang hadir. Kalo dikota saya, metode ini digunakan oleh anggota dari seluruh Pedagang Besar Farmasi. Bisa dibilang kumpulan arisan tersebut merupakan komisariat dari PAFI Cabang yang sangat membantu kerja dari kepengurusan. Metode keterkaitan secara fisik inipun kami selalu gunakan ketika ada acara PAFI, dan memang terbukti semua anggota merasa terikat dan tertarik untuk mengikutinya. Jadi, jangan remehkan arisan ibu-ibu ya.. ­^_^


Masih terkait dengan percakapan di FB PAFI tersebut. Masalah yang ketiga setelah terpilihnya ketua dan pengurus Persatuan Ahli Farmasi Indonesia, ialah tuntutan dari para anggota. Memang sih tidak salah, karena tuntutan itu merupakan hak dari anggota sebagaimana termuat didalam Pasal 4 Anggaran Rumah Tangga PAFI yaitu:
  • Memperoleh perlakuan yang sama dari organisasi
  • Mengeluarkan pendapat serta mengajukan usul-usul dan saran-saran
  • Memperoleh perlindungan, pembelaan, pendidikan, penataran, dan bimbingan dari organisasi.
  1.  
Tetapi sebagaimana rekan-rekan ketahui, dibalik hak dari seorang anggota PAFI tentu juga terdapat kewajiban yang harus dilaksanakan. Kewajiban anggota Persatuan Ahli Farmasi Indonesia diatur dalam Pasal 2, yang bunyinya sebagai berikut:
  • Membantu pengurus dalam melaksanakan tugas organisasi
  • Mengamankan dan memperjuangkan konsepsi dan kebijaksanaan organisasi
  • Menentang setiap usaha dan tindakan yang merugikan kepentingan organisasi
  • Menghadiri rapat-rapat
  • Membayar uang pangkat dan uang iuran sesuai peraturan organisasi
  1.  
Nah, apakah semua kewajiban tersebut telah semua para anggota PAFI jalankan? Belumkah atau Tidakkah? Apapun jawabannya, dapat dilihat dari kondisi Persatuan Ahli Farmasi Indonesia sekarang. Apabila hak dan kewajiban para anggota telah dijalankan dengan baik, serta tugas dan fungsi para pengurus dijalankan dengan baik pula, tentu kondisi PAFI sekarang akan jauh lebih baik dari sekarang. Bahkan mungkin kita bisa sekuat PPNI yang telah menunjukkan giginya untuk memperjuangkan undang-undang praktek keperawatan. Peraturan itu tentunya lebih tinggi derajat dan kekuatannya dibanding PP 51/2009 yang kita masih pertentangkan hingga sekarang.


Kembali kepembicaraan di FB PAFI tersebut. Disana dipermasalahkan, kenapa PAFI tidak kompak untuk memperjuangkan nasib anggotanya terutama yang digaji dibawah UMR/UMP. Sekedar rekan-rekan ketahui, sudah banyak PAFI cabang/daerah yang menetapkan standar gaji AA lengkap dengan landasan hukumnya. Namun apakah itu dapat menjamin para anggota untuk mematuhinya, tidak, karena yang namanya perjanjian itu merupakan kesepakatan pekerja dan pengusaha. Perjanjian antar pihak itupun sangat kasuistis, artinya alasan yang dikemukakan seorang AA yang melalukan perjanjian itu tidaklah selalu berada pada posisi yang dirugikan. Hal ini tidak hanya terjadi di PAFI, IAI pun yang pada dasarnya keterikatannya dengan pengusaha berdasarkan akta perjanjian kerjasama dihadapan notary, mengalami hal yang serupa.


Jadi pada intinya sebagaimana fungsi dan tugas pengurus PAFI, memang sudah seharusnya menetapkan standar gaji bagi AA. Tetapi hal ini harus diiringi dengan pelaksanaan kewajiban dari para anggotanya, yaitu membantu pengurus dan mengamankan/memperjuangkan konsepsi/kebijakan PAFI. Dengan begini yakin dah, tak ada lagi yang gajinya dibawah UMR/UMP. Jadilah tokoh tenaga teknis kefarmasian yang membangun.

Selasa, 04 Januari 2011

Surat Izin Kerja Asisten Apoteker

Surat Izin Kerja Asisten Apoteker

Surat Izin Kerja Asisten Apoteker (SIK AA)



Masih mengacu pada Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (KEPMENKES) Nomor 679/MENKES/SK/V/2003 tentang Registrasi dan Izin Kerja Asisten Apoteker
sebagai patokan peraturan baku untuk mendapatkan wewenang perkerjaan farmasi, artikel inipun ditulis.  Telah diketahui bahwa selain Surat Izin Asisten Apoteker (SI AA) juga diperlukan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker (SIK AA) untuk dapat melakukan kewenangan tersebut. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 8, yaitu "setiap Asisten Apoteker untuk menjalankan pekerjaan kefarmasian pada sarana kefarmasian pemerintah maupun swasta harus memiliki SIKAA". 

Surat Izin Kerja Asisten Apoteker, dalam pasal 1 KEPMENKES ini diberikan pengetian sebagai "bukti tertulis yang diberikan kepada Pemegang Surat Izin Asisten Apoteker (SIAA) untuk melakukan pekerjaan kefarmasian disarana kefarmasian". Dengan begitu, jelas bahwa hanya Asisten Apoteker yang telah memiliki Surat Izin Asisten Apoteker sajalah yang dapat mengajukan permohonan perolehan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker. Dan juga, hanya Asisten Apoteker yang memiliki Surat Izin Kerja Asisten Apoteker sajalah yang dapat melakukan pekerjaan kefarmasian seperi pengadaan, penyimpanan dan distribusi obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat, serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional. Baik itu dibahwah pengawasan Apoteker, tenaga kesehatan atau dilakukan secara mandiri sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai contoh, pada took obat berijin, puskesmas atau PBF dimana seorang Asisten Apoteker dapat melakukan pekerjaan kefarmasian tanpa di bawah pengawasan. Bila seorang Asisten Apoteker saja harus memiliki Surat Izin Kerja Asisten Apoteker, setelah itu baru dapat melakukan perkerjaan kefarmasian. Kemudian apa tindakan riil pemerintah terhadap para pengusaha ataupun orang-orang yang melakukan pekerjaan kefarmasian bukan saja tanpa izin, bahkan tanpa keahlian dari pendidikan farmasi ?

Pada saat saya menulis ini pun, saya yakin masih ada rekan-rekan kita yang masih belum memiliki Surat Izin Kerja Asisten Apoteker padahal telah sekian lama bekerja di sebuah sarana kefarmasian. Diantara alasan mereka adalah, karena tidak pernah diperiksa atau tidak diperlukan oleh sebab tertentu. Memang ketika kita bekerja dibawah pengawasan Apoteker, yang diperiksa perizinannya "kebanyakan" adalah Apoteker Pengelola / Pendamping / Pengganti yang bertugas disarana kefarmasian tersebut. Begitu juga ketika ada beberapa Asisten Apoteker yang bekerja di tempat sarana kefarmasian yang sama, ada Asisten Apoteker yang menganggap tidak memerlukan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker karena tugasnya hanya melayani resep yang tentunya berbeda bagi Asisten Apoteker yang memiliki tugas keadministrasian, seperti penandatangan faktur dari Pedagang Besar Farmasi (PBF) yang mengharuskan mencantukan Nomor Surat Izin Kerja Asisten Apoteker.

Masih banyak permasalahan mengenai Surat Izin Kerja Asisten Apoteker yang ada dilapangan, tapi saya tidak akan banyak membahasnya. Disini saya akan memberikan penjelasan tetang bagaimana memperoleh Surat izin kerja, penggunaannya dan apa kewengan Persatuan Ahli Farmasi (PAFI) yang terkait dengannya. Semoga, tulisan ini dapat memberikan pencerahan atas permasalahan-permasalahan itu.



Ketentuan Surat Izin Kerja Asisten Asisten Apoteker



Berbeda dengan Surat Izin Asisten Apoteker yang penerbitannya dilakukan oleh Dinas Kesehatan Propinsi, Surat Izin Kerja Asisten Apoteker diterbitkan oleh Dinas Kabupaten / Kota tempat dimana sarana kefarmasian tempat Asisten Apoteker bekerja berada. Karena itu, berbeda pula bila Surat Izin Asisten Apoteker berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia maka Surat izin Kerja Asisten Apoteker hanya berlaku didalam satu kota/ kabupaten saja. Ada satu perbedaan lagi yaitu bila Surat Izin Asisten Apoteker dapat diajukan ke seluruh dinas Kesehatan kota di Indonesia, maka Surat Izin Kerja Asisten Apoteker hanya berlaku pada satu sarana kefarmasian saja. Artinya, setiap Surat Izin Kerja Asisten Apoteker yang telah dipakai untuk bekerja pada satu sarana farmasi, tidak dapat digunakan untuk saran kefarmasian yang lain (Pasal 10).

Sedikit menyinggung tentang Surat Izin Kerja Asisten Apoteker yang hanya dapat berlaku pada satu sarana kefarmasian saja. Bahwa sampai sekarang ada rekan-rekan kita yang masih menggunakan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker-nya untuk bekerja dibeberapa sarana kefarmasian. Ada yang sudah bekerja di Apotek pagi, tetapi juga bekerja di Apotek lain malam hari dengan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker yang sama. Tdak ada aturan yang melarang Asisten Apoteker bekerja di lebih dari satu sarana kefarmasian, hal ini dikarenakan Asisten Apoteker tanggung jawabnya terletak pada batasan jam kerja dan apa yang telah dikerjakan di sarana kefarmasian tersebut. Di apotek, PBF, Puskesmas, Rumah sakit dan saran kefarmasian lainnya, asisten apoteker bertanggung jawab atas apa yang ia kerjakan di jam kerjanya. Namun bagaimana dengan toko obat? Apakah seorang Asisten Apoteker dalam sarana kefarmasian ini yang memempunyai kewenangan penanggungjawab selayaknya seorang Apoterker di Apotek, dapat bekerja di sarana kefarmasian lainnya. Sewajarnya apabila telah bekerja di toko obat, seorang asisten apoteker tidak boleh bekerja di sarana kefarmasian lainnya.

Untuk memperoleh Surat Izin Kerja Asusten Apoteker, diharuskan mengajukan permohonan kepada Kepala Dinas Kabupaten / kota dengan memenuhi beberapa persayaratan yang disebutkan dalam Pasal 9 KEPMENKES ini dan melampirkannnya, yaitu:
  • Fotokopi Surat Izin Asisten Apoteker yang masih berlaku;
  • Fotokopi ijasah Asisten Apoteker yang disahkan oleh pimpinan penyelenggara pendidikan Asisten Apoteker;
  • Surat keterangan sehat dan tidak buta warna dari dokter yang memiliki SIP;
  • Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar;
  • Surat keterangan dari pimpinan sarana kefarmasian atau apoteker penanggungjawab yang menyatakan masih bekerja pada sarana yang bersangkutan.

Ditentukan pula dalam KEPMENKES ini, Asisten Apoteker yang menjalankan pekerjaan kefarmasian pada sarana kefarmasian, wajib memiliki Surat Izin Kerja Asisten Apoteker selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) bulan setelah diterima bekerja. 



Tugas dan Fungsi Persatuan Ahli Farmasi Indonesia



Dan apabila bicara tentang kebijakan, maka tahun 2009 ini Kepala Dinas Kesehatan kota Samarinda memberikan kebijakan agar setiap asisten apoteker yang ingin mengajukan permohonan penerbitan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker agar melampirkan pula Surat Rekomendasi dari Persatuan Ahli Farmasi Indonesia Cabang Kota Samarinda. Hal ini dikaitkan dengan kewenangan Persatuan Ahli Farmasi Indonesia untuk melindungi setiap anggotanya, yaitu:
  • Hak untuk memperoleh laporan secara berkala tentang pelaksanaan pemberian atau penolakan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker diwilayah cabang kerja masing-masing (Pasal 15).
  • Kewajiban untuk melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap Asisten Apoteker yang melakukan perkerjaan kefarmasian diwaliyah kerja masing-masing yang hasilnya dibahas dalam pertemuan periodic sekurang-kurangnya 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun (Pasal 16).
  • Kewajiban Pimpinan sarana kefarmasian untuk melaporkan Asisten Apoteker yang melakukan pekerjaan kefarmasian dan yang berhenti. (Pasal 17).
  • Kewajiban untuk memberikan tindakan disiplin kepada Asisten Apoteker yang melakukan pelanggaran (Pasal 19).
  • Hak didengar untuk pertimbangan mengenai pencabutan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker (Pasal 20 dan 23).
  • Hak untuk memperoleh laporan setiap pencabutan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker (Pasal 22).

Masih terdapat fungsi lain Organisasi Profesi Persatuan Ahli Farmasi Indonesia yang berkaitan dengan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker. Diantaranya adalah mendampingi Asisten Apoteker dalam berperkara, baik itu dalam tingktat keberatan di Dinas Kesehatan Propinsi ataupun melalui gugatan ke pengadilan tata usaha Negara. Semua tugas dan fungsi tersebut, tentu saja akan dapat berjalan dengan baik apabila Asisten Apoteker yang berada diwilayahnya telah terdaftar dan menjalankan kewajibannya dengan baik pula.

Penerbitan Surat Izin Kerja Asisten Apoteker



Mengenai bentuk surat permohonan penerbitan, telah ditentukan dalam lampiran KEPMENKES ini. Namun anda tidak perlu membuatnya sendiri, karena di tiap Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota telah menyiapkannya. Jadi, anda cukup datang dengan membawa persyaratan dan mengisi surat permohonan tersebut ditempat.

Selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal permohonan diterima, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota menerbitkan Surat Izin Kerja Asisten Apotker yang telah disetujui atau menyampaikan penolakan disertai alasan kepada pemohon apabila permohonan ditolak. Nah lagi-lagi tentang kebijakan, apabila di KEPMENKES ini menentukan bahwa Surat Izin Kerja Asisten Apoteker berlaku sepanjang Surat Izin  Asisten Apotker belum habis masa berlakunya, yang artinya seharusnya 5 (lima) tahun kan. Namun pada kenyataannya Dinas Kesehatan Kota menerbitkan surat Izin Kerja Asisten Apoteker dengan batasan masa berlaku tersendiri, yaitu berlaku selama 3 (tiga) tahun sejak diterbitkan.

Untuk memperbaharui Surat Izin Kerja Asisten Apoteker, dapat dilakukan dengan mengajukan kembali surat permohonan kepada Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten / Kota dengan satu tambahan persyaratan, yaitu:
  • Fotokopi Surat Izin Asisten Apoteker yang masih berlaku;
  • Fotokopi Surat Izin Kerja Asisten Apoteker yang lama;
  • Surat Keterangan sehat dan tidak buta warna dari dokter yang memiliki SIP;
  • Surat keterangan dari pimpinan sarana kefarmasian atau Apoteker penanggungjawab yang menyatakan masih bekerja;
  • Pas foto ukuran 4 x 6 cm sebanyak 2 (dua) lembar.


Mengenai Sanksi dan ketentuan peralihan, sama halnya dengan tulisan yang terdapat dalam artikel Surat Izin Asisten Apoteker.